Axiata Xlindo

Axiata Xlindo

Senin, 25 April 2011

Mudik Untuk Mbangun Desa

Mudik yang sebagian masyarakat menganggapnya sebagai sebuah tradisi, sebenarnya dapat dijadikan kesempatan yang sangat tepat bagi keluarga untuk dapat berkomunikasi dengan lebih akrab.
Kasih sayang di antara anggota keluarga tercipta karena adanya kehadiran, sehingga mudik menjadi momen menarik dimana komunikasi yang baik dapat diimplementasikan di antara semua anggota keluarga. Mudik pun selain menjadi sarana penting dan strategis melakukan penguatan jalinan silahturahmi, sekaligus waktu tepat untuk melihat kembali perkembangan pembangunan yang terjadi di kampung halaman. Untuk selanjutnya diharapkan para pemudik ikut ambil peran dan berpartisipasi dalam membangun desanya. Bukankah pulang ke kampung merupakan momen penting menyumbang pembangunan desanya? Dan sejauhmana kesadaran pemudik melakukan hal seperti itu?
Dalam gelombang arus mudik, beribu-ribu bahkan berjuta masyarakat meninggalkan kota tempat dimana ia mengais rezeki untuk kembali ke desanya. Pada saat mudik lebaran tiba, kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya yang biasanya padat dan sesak karena kemacetan mendadak menjadi lengang dan jalan pun jadi lancar. Tidak ada kemacetan dimana-mana, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan hari-hari biasa.
Hal ini membuktikan bahwasannya penduduk asli di kota besar hanya sedikit, mayoritas adalah penduduk daerah yang kemudian hijrah ke kota tersebut. Fakta tersebut juga menguatkan sekaligus membuktikan bahwa sebenarnya kota besar dibangun oleh orang-orang daerah. Mudik lebaran juga telah menjadi sebuah fenomena budaya. Mudik seakan menjadi sebuah puncak ritual tahunan masyarakat Indonesia. Selama beberapa bulan mereka berjuang mengais rezeki di kota, kemudian dibelanjakan di kampung halaman ketika mudik lebaran.
Ketika pulang ke kampung halaman, masyarakat desa seolah-olah melihat bahwa seseorang yang pulang dari ibu kota adalah sosok pribadi yang sukses, berpenampilan khas orang kota, dan tentunya membawa uang dalam jumlah yang banyak meskipun hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga ataupun buruh pabrik. Hal-hal seperti inilah yang membuat masyarakat desa “tertarik” untuk pergi ke ibukota sehingga mendorong tumbuhnya urbanisasi dan desa pun menjadi kosong. Padahal sebetulnya, kesempatan yang hanya sekali setahun ini dapat dijadikan modal untuk membangun desanya. Tidak salah memang kalau mereka ‘pamer’ sebagai hasil jerih payah mereka, tetapi juga harus mengingatkan masyarakat di desa bahwa perjuangan di kota besar tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Para pemudik harus disadarkan dan diberdayakan ke tindakan yang sifatnya produktif dan berempati pada kondisi masyarakat di pedesaan yang rata-rata berada dalam situasi lemah dan miskin. Mereka bisa memberikan bekal ketrampilan dan kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat di desa untuk membekali mereka dengan ketrampilan dan semangat untuk berubah. Dari sisi ekonomi, sebenarnya terjadi fenomena perpindahan uang yang bisa mencapai milyaran bahkan bisa jadi sampai trilyunan rupiah dari kota ke daerah yang dalam hal ini bisa memicu perkembangan ekonomi di daerah, tetapi bukan hanya dalam konsumtif semata namun juga pengembangan SDM di daerah. Kalau mereka hanya bisa konsumtif berarti hanya sebagian kecil yang diuntungkan, padahal sebetulnya masyarakat menunggu kontribusi mereka untuk membangun desanya sehingga yang diuntungkan lebih banyak lagi.
Momen inilah yang selayaknya digunakan masyarakat daerah untuk mengembangkan potensinya. Seharusnya, kepala desa jeli dan dapat mencermati peluang ini untuk berpartisipasi membangun desanya walaupun hanya sebatas ide. Di antaranya, dapat dikembangkan melalui usaha-usaha mikro di desa. Ia setidaknya memberi masukan agar uang yang dibawa sebagai hasil jerih payah bekerja di kota itu jangan dipakai untuk konsumtif, tetapi untuk membayar pendidikan anak, perbaikan gizi anaknya ataupun warga sekelilingnya yang kurang mampu. Arahnya kepada peningkatan sumber daya manusia yang kelak siap dan mampu bekerja sehingga bisa diserap di kesempatan kerja, maupun menciptakan lapangan kerja sendiri.
Para perantau menolong kaum kampung halamannya sekarang merupakan fenomena yang juga dilakukan bangsa lain. seperti kaum perantau China, India, dan Yahudi. Berbeda dengan dulu, di mana perantau sukses, enggan investasi di daerah karena dianggap menyerobot usaha kaum sekampung halamannya. Seiring dengan era desentralisasi dan otonomi daerah, kepala daerah dituntut memetakan potensi dan daya saing daerahnya yang kemudian dijajakan kepada kaum perantau. Para kepala daerah menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berdaya saing seperti memudahkan perizinan kepada calon investor atau kaum perantau. Berikutnya, potensi kaum rantau dipetakan kepala daerah untuk dipertemukan dalam jaringan antarmereka dan antara kaum perantau dengan kampung halamannya. Daripada diserahkan kepada orang dari daerah lain atau bahkan dari negara lain. Biasanya, karena perantau dari satu daerah, kepala daerah berani mengambil resiko.
Nampaknya hal senada juga terungkap dari konsep Bali Ndeso, Mbangun Ndeso yang dimotori oleh Bibit Waluyo selaku Gubernur Jawa Tengah, boleh jadi merupakan satu resep ampuh untuk mengajak hati masyarakat desa di wilayahnya untuk membangun desa. Ini mencermati masih rindunya masyarakat desa agar pembangunan berkenan hadir di wilayahnya, setelah beberapa waktu lamanya terlupakan. Desa kini makin terjepit, indikatornya sederhana saja, bahan bakar minyak (BBM) kini mahal sekaligus langka; beras, gula, minyak goreng, pendidikan, dan kesehatan juga mahal. Mestikah keprihatinan ini akan terus berlangsung? Barangkali, semua, utamanya warga desa perlu menjawab pembangunan desa yang butuh perhatian warga kampungnya. Dengan kondisi para perantau yang lebih mapan itu, sudah semestinya jika mereka “wajib” berbagi peduli. Bukan sekadar memikirkan, tapi harus membantu saudara-saudara di daerahnya.
Untuk itu, kepedulian para perantau yang tergabung dalam paguyuban untuk mulai berbagi serta mau menengok ke kampung halaman. Jangan seperti kacang lupa isinya. Setelah berhasil di kota lupa akan tanah kelahirannya. Para perantau memang sudah seharusnya tetap mengingat akan kampung halaman. Bukankah kebanyakan dari para perantau ini sebelum pergi meninggalkan kampungnya biasanya meneguhkan niat jika sudah berhasil akan berbagai membangun kampung asalnya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar