Axiata Xlindo

Axiata Xlindo

Senin, 25 April 2011

Inspirasi Pembangunan Perdesaan dari Aljazair

Masyarakat desa yang bertenaga secara sosial; berdaulat secara politik; berdaya secara ekonomi; dan bermartabat secara budaya hanya dapat terwujud, jika pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan dengan keberpihakan tinggi terhadap daerah perdesaan. Inilah salah satu poin krusial yang didapatkan oleh Tim Pansus RUU Pembangunan Perdesaan dari kunjungan kerja ke Aljazair.
Dalam catatan penulis, pemerintah Aljazair menjadikan pembangunan perdesaan sebagai salah satu prioritas kebijakan pembangunan mereka. Kebijakan pro-desa ini lahir dari kenyataan geografis, demografis dan psikografis Aljazair, sebab 13, 8 juta dari 34.178.188 penduduk negara bekas jajahan Perancis ini tinggal di 1.541 daerah perdesaan (commune) di mana 971 dari commune tersebut adalah daerah tertinggal.
Berdasarkan realitas tersebut, pemerintah Aljazair melaksanakan pembangunan yang sangat memperhatikan kebutuhan masyarakatnya dengan tujuan agar pembangunan benar-benar efektif mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata. Karena itu, fokus pembangunan perdesaan di Aljazair pada pengembangan pertanian dan penyediaan infrastruktur jalan, listrik dan air bersih. Pemerintah Aljazair juga telah membangun 4.000 lebih proyek modernisasi infrastruktur di 971 commune yang masih tertinggal. Hal yang paling fenomenal adalah kebijakan pembangunan pemerintahnya yang telah membangun kurang lebih 1 juta runit rumah di daerah perdesaan yang diberikan secara gratis kepada penduduk desa. Kebijakan ini ditempuh agar para penduduk perdesaan tidak lagi hidup nomaden dan bersedia mendiami desa mereka untuk kemudian bersama-sama pemerintah membangun desa.
Komitmen dan keberpihakan pemerintah Aljazair dalam pembangunan perdesaan juga ditandai dengan diterbitkannya sejumlah langkah kebijakan pembangunan perdesaan yang integratif-komprehensif. Sejumlah kebijakan tersebut antara lain diwujudkan dengan melakukan reformasi peraturan dan hukum administrasi lembaga pemerintah daerah, reformasi PAD (keuangan dan pajak), peningkatan kapasitas manajemen pemeritah daerah, modernisasi sistem informasi dan komunisi daerah perdesaan serta mendorong partisipasi aktif seluruh unsur daerah dalam pembangunan infrastruktur perdesaan.
Pemerintah Aljazair juga menggelontorkan dana tak kurang 13,5 persen APBN mereka tiap tahunnya bagi pembangunan perdesaan. Selain itu, sejak sebelum tahun 2004 separo dari APBN Aljazair digunakan untuk membangun infrastruktur, jalan, bendungan, rel kereta api, pelabuhan, dan bandara. Patut dicatat disini bahwa sebagian besar dari pembangunan infrastruktur tersebut berada di daerah perdesaan.

Inspirasi Bagi Indonesia
Sementara itu, pembangunan perdesaan di Indonesia dinilai sebagian kalangan masih belum disertai dengan sebuah grand-strategy dan anggaran pembangunan perdesaan yang terpadu. Pemerintah lebih bertindak sebagai pelaku daripada fasilitator. Kemudian, peran yang diberikan kepada lembaga perdesaan kurang besar. Inilah yang menjadikan masyarakat perdesaan tidak berperan sebagai subyek melainkan obyek pembangunan.
Guna mengatasi hal di atas, dengan berkaca pada pembangunan perdesaan di Aljazair, maka RUU Pembangunan Perdesaan yang tengah dibahas oleh Pemerintah dan DPR diharapkan akan melahirkan sebuah undang-undang perdesaan yang mampu memberikan kepastian dan payung hukum bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan perdesaan yang terpadu.
Keterpaduan desain pembangunan perdesaan beralas pada cara pandang tata ruang, studi kewilayahan, geografi perdesaan, ekologi kultural dan sumber daya desa. Kemajuan antar desa bergerak dengan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan perdesaan dan perkotaan sejauh dijalankan melalui human capital dan social capital. Aspek human capital dalam hal ini fokus pada pendidikan agar manusia perdesaan dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Sedangkan social capital mendorong masyarakat perdesaan untuk menghasilkan sesuatu secara bersama-sama. Belajar dari pemikiran Bung Hatta (salah satu founding fathers) siasat ekonomi Indonesia dibangun oleh tenaga produksi manusia di desa yang terarah pada pengumpulan capital ekonomi Indonesia. Hal ini menghindari paradigma yang terbalik selama ini yaitu kapitalisasi terhadap desa sebagai wilayah administrasi saja.
Kedua, pembangunan massif dan terpadu infrastruktur perdesaan. Pemerintah Aljazair mengalokasikan setengah dari APBN mereka untuk pembangunan infrastruktur. Sebagian besar pembangunan infrastruktur itu dilakukan di daerah perdesaan. Bahkan pemerintah Aljazair membangun kurang lebih 1 juta unit rumah yang diberikan secara gratis untuk masyarakat perdesaan. Kebijakan ini menandakan bahwa pemerintah Aljazair memiliki keberpihakan yang tinggi pada pembangunan perdesaan utamanya pembangunan infrastrukturnya.
Di Indonesia, sebenarnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004) pernah mengungkapkan bahwa kebijakan fiskal dapat digunakan untuk menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan dimana peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dapat menurunkan pengangguran secara signifikan. Namun, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ternyata manfaatnya relatif kurang dapat dinikmati di pedesaan jika dibandingkan dengan perkotaan. Karenanya, selama 5 tahun terakhir pemerintah telah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan menerbitkan sejumlah kebijakan pembangunan yang lebih pro masyarakat desa, antara lain melalui Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan PNPM Mandiri Perdesaan dan sebagainya.
Untuk itu, agar tidak terjadi kekeliruan dalam desain kebijakan pembangunan infrastruktur perdesaan, maka diperlukan suatu grand-strategy pembangunan infrastruktur perdesaan. Salah satu bentuk intervensi kebijakan berdasarkan grand-strategy adalah pemenuhan infrastruktur pedesaan yang mendukung mata pencaharian masyarakat desa.
Belajar dari Undang-Undang Nomor 08-16 tanggal 3 Agustus 2008, Menteri Pertanian dan Pembangunan Perdesaan (Ministere de L’agriculture et du Developpement Rural) Aljazair melakukan fungsi perlindungan terhadap infrastruktur perdesaan guna melindungi potensi-potensi desa dan sumber daya yang ada di dalamnya. Bahkan, pemerintah Aljazair dengan tegas mengatur anggaran disektor pertanian yang mendukung pembangunan nasional, semisal melalui kredit bank, bantuan keuangan yang saling menguntungkan. Undang-undang ini tersebut juga memberikan sanksi pidana terhadap siapa saja yang melanggar sumber daya pertanian yang diproteksi oleh pemerintah Aljazair.
Hal inilah yang membedakan dengan kondisi Indonesia, urusan pembangunan perdesaan tidak dilakukan oleh satu institusi yang benar-benar bertanggung jawab, berwenang, dan bertanggung-gugat terhadap pembangunan perdesaan sebagai pendukung pembangunan Indonesia. Secara tekno-sofi makna “pembangunan Indonesia” bukanlah pembangunan di Indonesia yang konotasinya hanyalah memihak para pemilik modal saja.
Akhirnya, tantangan bagi instrumen kebijakan pemerintah adalah membangun suatu sistem informasi modern melalui kelembagaan yang sanggup menghadapi tantangan sistem global. Kemiskinan yang melanda kawasan perdesaan dan perkotaan, melalui paradigma people-centered empowerment, teratasi oleh kekuatan masyarakat sendiri. Namun, ketertinggalan yang dihadapi sejumlah kawasan perdesaan tetaplah tanggung jawab negara dalam mewujudkan “tujuan nasional” yaitu menyejahterakan kehidupan bangsa. Marwan Ja’far, Wakil Ketua Pansus RUU Pembangunan Perdesaan DPR.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar