Axiata Xlindo

Axiata Xlindo

Senin, 25 April 2011

“AJA DUMÈH !”

Kesempatan kali ini mari kita bahas ungkapan pada judul tulisan ini yang sering kita dengar, baik sebagai peringatan kepada kita, atau sebagai peringatan umum bagi kehidupan kita. Ungkapan yang singkat dan sederhana, seakan tidak mempunyai nilai tetapi sering digunakan oleh orang bijak untuk memberi pesan kepada kita. Ungkapan ini berlaku bagi kita semua, tidak hanya orang-orang biasa dalam masyarakat, tetapi akan menjadi besar dan penting artinya bila diberikan kepada para pemimpin, baik pemimpin di pemerintahan, di organisasi kemasyarakatan, di perusahaan, di institusi pendidikan, dan lain-lain. Pèndèknya berlaku untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja.
Ungkapan ini berasal dari Bahasa Jawa. Arti harfiahnya adalah: “Ojo” berarti “jangan”, sedangkan “dumèh” berarti “sombong, mentang-mentang, sok, merasa super atau paling, merasa hebat” dan mungkin masih banyak lagi. Sebagai kesatuan, ungkapan “Ojo Dumèh” mempunyai arti yang banyak tergantung dari kata atau rangkaian kata-kata yang mengikutinya. Ungkapan ini mengandung falsafah hidup yang tinggi, yang banyak digunakan oleh orang Jawa untuk memberikan petunjuk atau pedoman atau peringatan kepada orang lain dalam perjalanan hidupnya. Saya mengalami kesulitan dalam mencari padanan ungkapan ini di literatur-literatur, baik yang berbahasa Inggris atau bahkan yang berbahasa Indonesia. Kalau demikian langkanya lalu untuk apa kita perlu memahaminya? Apa ungkapan itu masih ada relevansinya dengan kehidupan kita sekarang? Apa bukannya sudah ketinggalan zaman karena ternyata tidak ditemukan di literatur-literatur? Apa penulis mau mengajak mundur dalam kehidupannya dan kembali ke kehidupan orang kuno? Kalau sulit dipahami, apa semua orang Jawa mengerti dan memahami maknanya? Apa ungkapan ini hanya berlaku bagi orang Jawa saja?
Untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu yang paling gampang adalah melakukan telaahan melalui uraian yang kadang-kadang diseling dengan contoh-contoh dalam kehidupan untuk mempermudah pemahaman terhadap maknanya. Tergantung dari konteksnya, pemahaman falsafah hidup ini begitu luwesnya sehingga dapat berlaku untuk berbagai konteks. Seseorang yang mepunyai sesuatu yang dapat diunggulkan mudah untuk membanggakan dan kemudian menyombongkan karena sesuatu itu. Sesuatu ini bisa umur (bisa tua bisa muda), bisa kondisi kesehatan, bisa kemampuan fisik, bisa penampilan, harta benda, kedudukan, pendidikan, kawan-kawan, dsb. Sebagai contoh seorang yang mempunyai penampilan fisik yang “bagus”, kulit bersih dan putih – halus – hidung mancung – mata hitam bulat menarik – rambut hitam bak iklan shampoo nomor satu, dan seterusnya, akan mudah untuk kemudian menjadi sombong – mentang-mentang, bisa jadi “menghina” orang lain yang tidak mempunyai penampilan seperti dia. Orang ini kemudian menjadi “dumèh”: dumèh kulitnya bersih dan putih lalu sombong dan mengèjèk orang lain yang kulitnya tidak bersih dan putih, menonjolkan diri, pamèr, dsb. Tetapi kalau ada lebah yang iseng, mampir dan menyengat pipinya maka dalam sekejab kelebihannya itu akan hancur. Betapa mudahnya itu berubah! Lalu apa gunanya kita “dumèh”?
Bagaimana kalau keadaan ini terjadi pada orang yang kebetulan sedang menjadi pemimpin? Karena kedudukannya itu maka dia merasa yang “paling kuasa”, apa yang dikatakannya harus diikuti walaupun tidak ada hubungannya dengan tugas kepemimpinannya. Dia menjadi sewenang-wenang terhadap anak buahnya, dia menggunakan kekuasaannya untuk memindahkan anak buah yang tidak disukainya hanya karena anak buah itu pandai yang dia khawatirkan dapat menjadi saingannya, atau karena anak buah itu berani “bertanya” atau “mengkoreksi” tindakan salah pemimpinnya. Kemungkinan lain, seperti yang banyak terjadi pada saat ini, si Pemimpin itu se-énaknya sendiri menggunakan uang kantor untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin ini “dumèh kuasa” lalu berbuat seénaknya sendiri – semaunya sendiri, tanpa memperdulikan aturan atau étika, dsb. Contoh-contoh tentang “dumèh” itu tadi dapat berlaku pada banyak hal. Misalnya “dumèh kaya”, “dumèh banyak uang”, “dumèh masih muda” atau ”dumèh sudah tua”, “dumèh pandai”, dsb.
Kita sering mendengar pepatah yang mengatakan: “Padi itu makin berisi makin merunduk”, yang bermakna bahwa seseorang yang memiliki kelebihan, apakah ilmu, kekuasaan atau kelebihan-kelebihan yang lain, maka makin rendah hati, makin humble. Demikan juga seorang Pemimpin, seharusnya dia makin humble karena watak semacam itu akan menjauhkannya dari “dumèh kuasa”. Oleh karena itu pesan yang seharusnya diperhatikan adalah “Ojo Dumèh!” itu. Nabi pernah bersabda: “Setiap kamu memimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” Artinya pada saat kita meninggal nanti kita akan diminta mempertanggung jawabkan kepemimpinan kita tadi. Bahkan sebelum meninggalpun kita pada suatu saat, mungkin setelah berhenti dari jabatan, diminta juga untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kita pada waktu menjadi pemimpin tadi. Bayangkan seorang Pemimpin yang dumèh seperti contoh diatas. Bagaimana ia akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya yang dilandasi pada “dumèh” sehingga tidak sejalan dengan amanah yang diterimanya sebagai pemimpin? Apa yang akan terjadi pada dirinya? Perhatikan pula apa yang disampaikan oleh Imam Ali: “Barang siapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya dia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum ia mendidik orang lain dengan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya sendiri lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.”
Apakah hanya berlaku bagi seorang pemimpin formal? Pada dasarnya itu berlaku pada setiap pemimpin, formal ataupun tidak formal. Kita semua ini merupakan pemimpin, besar atau kecil, di lingkungan sosial kemasyarakatan atau dilingkungan kehidupan keluarga-pun masing-masing kita merupakan pemimpin-pemimpin yang dapat memberikan pengaruh kepada lingkungan kita, kepada anak-cucu kita. Bayangkan seorang yang menjadi pemimpin lalu bertindak seperti diktator, otoriter, tidak mau menerima saran-pendapat karena merasa yang paling tahu – paling pandai, dengan kata lain mau menang sendiri. Bagaimana reaksi atau rasa dari yang dipimpin? Apa yang terjadi dengan keluarga itu? Mengapa si pemimpin itu bertindak demikian? Karena “dumèh”! Oleh karena itu ungkapan “Ojo Dumèh!” perlu dipahami oleh kita semua agar kita terhindar dari sikap-sikap seperti itu.
Sikap-sikap yang perlu dihindari tidak harus berupa tindakan-tindakan “pemimpin” saja. Kadang-kadang hubungan sosial kemasyarakatan yang tidak berkaitan dengan hubungan pemimpin dan yang dipimpin juga dapat dihinggapai penyakit “dumèh” itu. Seorang yang “kaya harta” hidup di suatu lingkungan yang penduduk lainnya biasa-biasa saja. Sebagaimana biasanya dalam lingkungan itu tentu terjadi berbagai kegiatan yang melibatkan seluruh warga. Ini gambaran dari kebersamaan yang menjadi ciri kehidupan kita orang Timur. Kerukunan dan kebersamaan menjadi ciri yang harus kita kembangkan, karena disamping ciri kita juga memberikan manfaat di dalam kehidupan bersama, seperti dalam keamanan lingkungan, dsb. Tetapi karena “kaya harta” itu tadi mengakibatkan dia tidak mau bergaul dan bergabung dengan masyarakat sekelilingnya, alasannya karena perbedaan kaya-miskin itu dan paling-paling akan menjadi tempat untuk dimintai sumbangan. Karena sikapnya itu maka masyarakat sekeliling tentu menjadi tidak suka, mereka merasa dihina karena tidak kaya sepeti Si Kaya itu. Jadilah kesalah pahaman karena sikap “Dumèh kaya, tidak mau bergaul dengan masyarakat!”
Sebaliknya, karena “kaya harta”, Si Kaya itu menganggap bahwa setiap kegiatan di lingkungannya hanya bisa berjalan karena sumbangan dari dia, sehingga semua kegiatan di lingkungan itu harus mendapat persetujuan dia. Dia lupa bahwa warga lain juga punya hak untuk ikut serta menentukan kegiatan di lingkungannya. Kembali di sini sikap “Dumèh kaya, mau menentukan kehidupan seluruh warga!” itu menjadi masalah yang mengganggu kehidupan sosial kemasyarakatan di lingkungan itu. Dalam dua contoh itu ungkapan “Ojo Dumèh!” jelas dapat mencegah terjadinya masalah di lingkungan itu. Di dalam Al Qur’an ada cerita yang dapat dijadikan tauladan bagi kita, yaitu cerita tentang Qarun (Karun) orang yang diberi kekayaan yang limpah ruah, tetapi karena sifatnya yang “dumèh” akhirnya dibenamkan Allah ke dalam tanah dengan seluruh harta bendanya sebagaimana diceritakan dalam Surat Al Qashash (28:76-81).
Banyak persoalan dalam kehidupan bernegara kita diawali karena sikap “DUMÈH” itu. Lihatlah apa yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat maupun di daerah. Perhatikan bagaimana sikap “dumèh” itu dimunculkan oleh wakil-wakil rakyat di lembaga terhormat itu. Sikap “pokoké” yang diperlihatkan sebenarnya berangkat dari “dumèh”, bahkan “dumèh yang berlebihan”. Ini juga terjadi di lingkungan eksekutif, bagaimana pejabat di dua institusi saling menyalahkan dan saling menyerang dengan menggunakan forum masyarakat secara terbuka. Kadang-kadang dengan menggunakan media massa baik yang bersifat lokal maupun yang bersifat nasional dan bahkan bisa menjadi internasional. Kita masyarakat hanya bisa “ngelus dodo”.
Bagaimana kita bisa memiliki Pemimpin, di manapun tempatnya, yang benar-benar “menyejukkan, menenteramkan” yang bisa membawa kehidupan rakyat, kehidupan Bangsa ini, sejahtera seperti yang dicita-citakan dan menjadi Tujuan Nasional seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar kita? Monggo Pak Gubernur, Pak-Bu Bupati, Pak – Bu Walikota, Pak – Bu Anggota Dewan, poro Pemimpin kita semua, kita Bali nDéso, dan bersikap tidak “dumèh” seperti umumnya wong ndéso.
Pada kesempatan lain kita bahas beberapa ciri yang ingin kita lihat pada diri Pemimpin-Pemimpin kita. Sementara ini mari kita renungkan bersama apa yang sebenarnya kita harapkan dari Pemimpin-Pemimpin kita itu. Semoga Allah SWT berkenan membuka hati-nurani kita dan memberikan petunjuk kepada kita sekalian.

Selamat Tahun Baru 2011.

Ngargoyoso, 1 Januari 2011
Pontjomigoeno III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar